Ini adalah waktu yang begitu indah. Aku berdiri di dekat jendela rumahku. Aku menatap alam raya yang mempesona. Mentari menyembunyikan diri di balik tirai mega merah. Kelelawar menyambut waktu ini untuk menyantap makanan. Burung-burung kembali ke sarang untuk berkumpul bersama keluarga. Gagak hitam mengepakkan sayap dan bernyanyi di tengah hembusan sepoi angin. Hutan menyembunyikan hewan-hewan dalam kelebatan dan kegelapannya. Mentari memutuskan untuk melihat belahan bumi lain. Mega merah melemah hingga menggelapkan dirinya. Berlian-berlian berkilauan di hamparan gelap yang dingin. Kunang-kunang elektrik menghiasi dunia Magelang. Penakhluk Malam menampakkan dirinya yang mencoba menyelimuti dunia dengan terangnya di antara gelap dan dingin. Aku pun lelah. Aku pun lelap. Yang ku lihat hanyalah gelap. Gelap. Dan semakin gelap.
“Saqr! Saqr! Qum! Qum! Sholu! Bi sur`ah! Ayo bangun! Sudah Subuh! Sholat Subuh dulu! Papi sudah tunggu kamu!”
“Na’am, Ummiy. Saaqum.”
Ummiy, biasa. Suaranya menggetarkan alam bawah sadar ku. Setiap pagi aku harus mendengarnya. Tapi, itu konsekuensiku ketika aku tidur di rumah. Karena, aku hanya bisa membuka kedua bola mataku jika aku mendengar suara Ummiy ketika di rumah. Lalu, aku beranjak dari papan empuk ke pancuran air untuk mengambil air wudhu dan melangkahkan kakiku menuju Baitullah yang suci.
Ummiy adalah sosok ibu rumah tangga yang baik hati, penuh kasih sayang. Nama lengkapnya Yasmin Nurul Ummah. Orang-orang memanggilnya Bu Yasmin atau Bu Susilo. Ummiy berasal dari Riyadh, Arab Saudi. Ummiy juga sosok ibu yang patuh pada suami, pada Papi. Papi adalah orang Jawa tulen. Orang Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Papi adalah salah satu anggota legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat Jawa Tengah. Papi sering mengajariku tentang kejujuran semenjak kecil, karena Papi sejak kecil terbiasa dengan yang namanya kejujuran. Bahkan, teman-temanku menyebutku Si Pelit, orang yang pelit ketika ulangan.
Sementara aku, lahir di Magelang, 17 tahun yang lalu. Sebelum aku lahir, Ummiy dan Papi sudah menyiapkan dua nama untukku. Tapi, saat ini aku hanya diambilkan dari salah satu nama itu, Muhammad Saqru Prasetyo, orang-orang biasa memanggilku Saqr. Namun, jangan sampai menyebutku Saqor, karena Saqor adalah nama salah satu dari nama neraka. Ini adalah arti namaku, Muhammad adalah Elang keluarga Prasetyo. Muhammad adalah Nabi kami umat Islam. Saqru berasal dari bahasa Arab yang artinya Elang. Dan Prasetyo, diambil dari nama belakang Papi. Nama Papiku, Ir. Susilo Prasetyo. Maka dari itu, Ummiy juga ada yang memanggil Bu Susilo bahkan Bu Pras, Bu Setyo, atau Bu Prasetyo. Aku anak tunggal. Tapi, Papi dan Ummiy tak pernah memanjakan diriku. Hingga saat ini, aku masih menunggu kehadiran seseorang yang kelak memanggilku “kakak” yang masih di dalam kantong air ketuban dalam uterus Ummiy.
“Pagi, Saqr. Kamu mau ikut pesta?” tanya Berinda, cewek cantik berjilbab panjang keturunan Perancis. Nama panjangnya, Berinda Sofia Sabila. Teman-teman biasa memanggilnya, Berinda. Kalau aku cukup dengan, “Rinda”. Dia adalah primadona di sekolahku. Aku pun bingung harus menjawab apa ketika permata ini bertanya. Maka hanya sepatah kata yang ku keluarkan dari lidah yang setajam perisai ini, “Pesta?”
Rinda tersenyum begitu mempesona dan membalas pertanyaanku. “Iya, pesta. Kelas kita mau mengadakan pesta siang ini. Habis tes. Untuk refreshing, gitu.”
“Okey,lah,” kataku singkat sambil berjalan berdampingan dengan Rinda.
“Tadi malam kamu sudah belajar Matematika? Hari ini kan, tes terakhir. Matematika, lagi. Pusing.”
Aku tersenyum ketika Rinda mengeluarkan kata-kata yang keluar dari bibirnya yang tipis. Apalagi kedua pipinya membuat lesung. Membuatnya semakin mempesona. Cahaya seakan terpancar dari wajahnya yang berbunga-bunga.
“Aku? Aku sudah belajar, kok,” jawabku yang merasakan jantungku berdebar-debar. Duk. Duk. Duk.
“Saqr, kamu hebat, ya? Tes sudah satu minggu. Tapi, sedikit pun kamu tak juga mengambil jawaban orang lain maupun memberi jawaban kepada orang lain. Aku salut.”
“Ah, kamu, Rin. Bisa saja. Aku dulu pernah bilang kepada teman-teman. Mencontek itu adalah perilaku yang mencerminkan ketidakjujuran. Dan ketidakjujuran itu bisa berakibat fatal, seperti korupsi. Nah, jika kita terbiasa tidak takut untuk mencontek, kelak ketika kita menjadi orang yang besar, bisa jadi kita tidak takut untuk korupsi. Jadi mencontek itu, awal dari korupsi.”
Aku pun masuk ke ruang tes dan mengerjakan tes Matematika. Tik. Tik. Tik. Waktu sudah berlalu. Tak ada satu pun yang meminta jawaban dariku.
Bel tiga kali berbunyi, tanda tes sudah usai. Dan ini juga tanda bahwa pesta dimulai.
Hei, pesta sudah mulai...
Hei, sekarang kita santai...
...
Saat ini kubahagia...
Berkumpul bersama tebarkan pesona
Senyummu melebar, membuat hati berdebar
Hatiku terbakar, auramu terpancar
Ayo teriakkan!
Hei, pesta sudah mulai...
Hei, sekarang kita santai...
Hei, pesta sudah mulai...
Hei, sekarang kita santai...
...
Hilangkan sedihmu
Musnahkan bebanmu
Mainkan gerakmu
Ayunkan badanmu
Buanglah pusingmu
Ajaklah temanmu
Yo...
Hei, pesta sudah mulai...
Hei, sekarang kita santai...
Hei, pesta sudah mulai...
Hei, sekarang kita santai...
“Wah, tes Matematika tadi mudah banget, ya? Gila. Aku tak menyangka, soalnya tak begitu sulit,” kata Surya, cowok yang tak begitu pandai akan tetapi sombong. Dia hanya mengandalkan jawaban teman-teman, terutama Safi’i, siswa terpandai di sekolahku. Masa bodoh, ah. Mau sulit mau susah, lagi pula sudah usai. Buat apa aku mengurusi kata-katanya. Tak penting. Lebih baik refreshing bersama teman-teman.
Sir. Sir. Sir. Hatiku berdesir. Aku merasa ada hal yang ganjil saat ini. Aku menoleh ke arah yang berlawanan dari semula. Aku melihat sosok wanita berambut lurus membawa kipas. Siapa lagi kalau bukan, Sonia, Sang MiGos, Miss Gossip terpanas di sekolahku. Cara berjalannya seolah-olah memiliki daya tarik orang-orang untuk mendekatinya karena Sang MiGos selalu membawa berita yang up to date. Aku tak mau berurusan dengannya. Aku lebih baik duduk di pojok ruangan. Duduk di atas kursi coklat berkaki empat. Aku menginjak lantai putih yang tak begitu kotor dan tak begitu bersih. Aura di ruangan ini terasa membuat diriku tersisihkan. Sendiri. Tak ada yang menemani.
Sonia berkata dengan suara yang menggelegar, “Good afternoon, Ladies and Gentlemen. I have a new news. Baca ini!” Sonia membagi-bagikan lembaran-lembaran fotokopi dari sebuah surat kabar yang terbit setiap sore. Tiba-tiba, semua teman-temanku menatapku dengan tatapan yang sadis. Seolah-olah Sang Elang ini berhadapan dengan ribuan hewan buas yang lain. Mata Elang ini tak kuasa menatap ribuan tatapan mata mereka. Elang yang malang. Elang yang tak mengerti mengapa harus terbang.
Sonia mendekatiku dan berkata, “Aduhai, teman-teman. Ternyata teman kita yang sok jujur ini. Yang pelit ini. Yang sok bersih ini. Dia adalah anak tikus berdasi yang memakan uang rakyat. Dia “OT”, “Omong Thok”. Tak sesuai dengan fakta dan realita.”
Aku berteriak, “Apa maksud semua ini?”
Sonia melemparkan lembaran-lembaran tadi ke mukaku. “Baca!” lembaran-lembaran itu melayang-layang di depan wajahku. Aku pun membacanya. Betapa terkejutnya diriku ini. Sosok yang selama ini mengenalkan diriku tentang kejujuran, ternyata memakan lidahnya sendiri.
Sonia mencaci-maki diriku bersama teman-teman.
Aduhai negeriku...
Mengapa kau rela...
Rela tikus-tikus berdasi menjabat
Dan merampas uang rakyat
Aduhai bangsaku...
Mengapa kau lalai...
Lalai menangkap tikus pemangsa
Tikus pembohong bergelar dusta
Aku berlari dari ruang pesta. Aku semakin dekat dengan pintu rumah Sang Tikus yang memiliki anak seperti ku. Pintu yang gelap. Pintu yang kotor. Pintu yang mengantarku ke kepedihan. Aku gedor pintu itu. Aku melemparkan tas ke ranjang. Aku tutup rapat telingaku. Aku tak mau mendengar cacian itu lagi. Aku muak. Aku ingin sendiri. Sendiri. Dan sendiri.
Ummiy datang dengan ayunan kaki yang lemah menemui ku. Dia terlihat dari balik pintu kamarku. Dia duduk di sampingku. Aku menurunkan tanganku. Aku masih menaikkan adrenalinku yang semakin tinggi.
“Ummiy, apa-apaan dengan semua ini? Aku tak rela punya ayah Sang Koruptor, pemakan uang rakyat. Dan kita juga pemakan uang rakyat, Ummiy.” Aku berdiri serta meletakkan lembaran tadi ke pangkuan Ummiy. Ummiy terdiam seribu bahasa. Ummiy tertunduk seolah mengerti maksud ucapanku. Ucapan yang yang keluar dari perisai tajam ini. Ummiy menangis. Aku pun meninggalkan Ummiy dan berkata, “Aku tak sudi punya ayah seorang Koruptor, seorang pecundang yang memakan lidahnya sendiri. Tak tahu malu.”
Ummiy berteriak, “Cukup Saqr! Kholas! Laa taf’al bikadza! Kholas! Usquth!”
Detik telah berubah menit. Menit sudah berubah jam. Dua belas jam sudah berlalu. Ku mendengar suara Ummiy yang menggelegar di pagi hari. Aku membuka mataku di atas pulau yang sempit. Ku tak berucap sepatah dua patah katapun pada Ummiy. Ayam berkokok seolah berpaling akan datangnya Raja yang bersinar di ufuk Timur. Burung-burung melantunkan syair-syair kesedihan untukku. Angin tak bertiup sesepoi kerinduan. Awan-awan pun membuat suliet kepahitan.
Ku melihat uang saku sudah di atas ranjang. Ku berjalan menuju ruang makan. Ku lihat Ummiy yang menyambutku dengan senyuman. Tapi, aku tak selera dengan semua ini. Aku bisu untuk sementara waktu ini. Aku tak berucap pada Ummiy. Bahkan salam pun tak berbunyi.
Di sekolah, ku tak kuat lagi. Ketika semua siswa mencaci-maki. Tak ada sandaran bagi hidupku yang sendiri. Sepi. Tak berarti. Aku menyendiri. Tak peduli. Rinda mendekati, aku pun berlari, jauh tak terhenti.
Ku masuk rumah angker itu kembali. Rumah yang penuh teka-teki. Rumah yang diselimuti aroma melati. Aroma orang mati. Sepi. Bagai tak berpenghuni. Ku lihat Ummiy di dekat jendela berjeruji. Ku ucapkan salam, “Assalaamu’alaikum, ya Ummiy.” Ku berjalan dengan ayunan lirih. Ummiy menolehkan diri. Ummiy membalas salam yang sepi. Ummiy mendekatiku yang letih.
Ummiy membantuku duduk di atas kursi, “Ya, Bunayya. Li madza?” tanya Ummiy yang sedang memakai jilbab panjang dan pakaian berwarna biru muda.
“Ummiy, aku kecewa terhadap orang yang telah mendidikku tentang kejujuran, ternyata fakta berkata lain dan sekarang terkurung dalam jeruji besi. Dan yang lebih mengecewakan lagi, teman-temanku semakin menjadi-jadi ketika mencaci-maki diriku. Bahkan, aku juga sempat menerima kata “OT” dari teman-temanku,” kataku perlahan.
Ummiy bertanya dengan lembut sambil menata jilbabnya yang rapi, “OT? Apa itu?”
Aku menjawab, “OT itu singkatan dari Omong Thok, yang artinya cuma bicara tak ada fakta. Aku kecewa dengan hidup ini.”
Ummiy memegang tangan kananku. Tangan Ummiy terasa hangat. Terasa lembut. Penuh kasih sayang. “Saqr yang Ummiy kasihi, tolong percayalah pada Papimu. Kali ini, Ummiy akan mengajakmu ke jeruji besi, tempat Papimu tinggal.” Ummiy mengatakannya dengan penuh keyakinan.
Kami pun tiba di Kapolda Jawa Tengah dengan mobil yang Ummiy kendarai. Kami pun diantar ke tempat Papi tinggal saat ini. Aku dan Ummiy dipertemukan dengan Papi. Seketika itu, aku yang sebelumnya duduk santai, langsung berdiri secepat kilat dan wajah yang tak ku atur sebelumnya.
Aku berkata kasar, “Aku kecewa. Aku tak rela. Aku tak bisa percaya terhadap engkau, wahai Bapak Tikus. Aku tak percaya, ternyata orang yang selama ini melatih kejujuran dan menyatakan tak akan memeras uang rakyat, ternyata semua itu dusta belaka. Aku tak bisa memaafkan engkau. Jujur, Pi. Aku kecewa. Sakit, Pi. Sakit. Dan jangan anggap aku sebagai Elangmu, karena aku bisa mengambil darahmu dan mencabik tubuhmu.” Aku berlari keluar dari tempat itu. Ummiy meneriakiku. Aku teringat wajah Papi yang terlihat menyesal dan ingin menyampaikan sesuatu ketika ku berkata sedemikian. Aku menaiki kendaraan umum yang terasa sepi.
Di saat yang gelap ini, aku berada di depan pintu rumah Tikus kembali. Rumah yang membuatku sangat berbeda. Rumah yang ditinggali oleh anak yang malu terhadap ayahnya sendiri. Aku buka perlahan dan mengucapkan salam. “Assalaamu’alaikum.” Jawaban salam tiba-tiba terdengar semakin mendekat. Itulah Ummiy, yang ternyata tiba lebih awal dibandingkan diriku. Ummiy menuruni tangga sambil membawa mukena yang putih suci. Tersenyum. Mata indahnya ikut berkedip.
Ummiy mendekatiku dan mengajakku duduk. “Saqr, janganlah kau berucap seperti tadi. Ummiy tak pernah suka hal semacap itu.”
Dan ku ucapkan, “Ummiy, aku...aku harus bagaimana? Aku sudah malu.”
Ummiy memegang pundakku sambil memijatnya yang membuatku teringat akan masa kecil yang pernah ku lewati. Terasa indah. Terasa nyaman. Terasa aman. Aku jatuh lemas. Aku adalah Elang yang sudah ditakhlukkan oleh kasih sayang. Ummiy melanjutkan ucapannya, “Saqr yang sangat Ummiy banggakan. Saqr harus tabah. Saqr harus kuat. Ummiy percaya kalau Papi tak pernah melakukan hal keji itu. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui atas segala sesuatu. Dan ini tak mungkin terjadi. Laa yunkin! Hadzihil fitnah! Hadzihil kadzibah! Laa yunkin abika laqod fa’ala bikadza. Ini fitnah! Ini bohong!
Manusia tidaklah sempurna
Ada salah dan juga lupa
Ada nyata dan ada dusta
Yang tahu hanya Dzat Yang Maha Kuasa
Ya Robbiy, Ya Robbiy
Tunjukkanlah kami kebenaran-Mu
Berikanlah kami ketabahan-Mu
Bukankah kami makhluk yang fana
Engkaulah Yang Maha Bijaksana
Wa nahnu illa ‘ibaadaka
Wa nahnu illa annaasa
Wa nahnu laqod dzakarna
Wa nahnu fii dunyaka
Tunjukkanlah kami jalan-Mu yang lurus
Shirathokal mustaqiim
Wahai Allah, naungilah kami dalam kebenaran
Dan berikanlah kami ketabahan
Aku menatap Ummiy. Wajah Ummiy terukir aliran sungai kecil yang bening. Kedua matanya berkaca-kaca. Berkilauan bagai berlian. Basah yang tak bisa kering. “Ummiy, apa yang sebenarnya terjadi?”
Ummiy tersenyum mendengar pertanyaanku. “Saqr, bukankah engkau tak percaya terhadap hal ini? Bukankah engkau juga kecewa terhadap peristiwa ini? Bukankah engkau tak rela semua ini terjadi? Maka, perjuangkanlah kebenaran. Tetaplah tabah. Berdo’alah kepada Sang Khaliq. Mintalah ketabahan dan penunjuk jalan yang benar. Ummiy tahu engkau kuat menghadapi semua ini, Saqr. Karena cobaan-Nya tak pernah keluar dari batas kemampuan manusia.”
Aku mengangguk dan mencoba mengerti semua ini. Aku pun minta maaf telah berkata kasar terhadap Ummiy. “Ummiy, maafkan Saqr. Saqr khilaf. Saqr telah menyakiti orang yang telah berjuang untuk mendatangkan ku ke dunia yang fana ini. Saqr telah menyakiti hati orang yang memiliki surga di bawah telapak kakinya.”
“Ummiy tahu, Saqr. Ummiy selalu memaafkan anak yang patuh terhadap Allah, Nabi, dan kedua orang tuanya.”
Malam telah berganti pagi. Bagiku, pagi ini adalah pagi yang terindah dibanding pagi-pagi yang lalu. Pagi yang penuh semangat. Pagi yang diwarnai cahaya cerah. Burung-burung yang bernyanyi sorak-sorai kegembiraan. Angin yang berhembus selembut sutra. Alangkah indahnya pagi ini. Aku tak peduli ketika teman-temanku mulai mencaci. Aku harus tabah. Aku harus kuat. Aku melihat hasil tes sementara yang diadakan selama satu minggu. Hasilnya pun memuaskan. Tak ada nilai memerah dalam lembar jawaban.
Rinda. Rinda mendekatiku dan berkata, “Selamat, ya, Saqr. Sekarang kamu harus tabah. Harus kuat menanggapi peristiwa ini. Aku yakin semua ini hanya kesalahan dan semoga ayah kamu tak pernah melakukannya.”
Aku menjawab, “Terimakasih, Rin. Mungkin hanya kamu, satu-satunya teman yang bisa percaya terhadapku.”
Tiba-tiba aku mendengar panggilan yang ditujukan kepadaku. Aku dipanggil untuk hadir ke kantor guru. Pak Darwis terlihat di depan pintu keabu-abuan. Dia berdiri untuk mengabarkan berita kepada diriku. Ku datangi dirinya perlahan.
Pak Darwis memegang pundakku. Aku teringat Ummiy yang selalu memijat pundakku. Namun, ini tidak. Pak Darwis adalah teman kuliah Papi. Jadi, Pak Darwis mengerti keluarga kami. Wajah Pak Darwis tampak pucat pasi. Tak ada cahaya yang mewarnai. Pak Darwis mencoba mengambil kata-katanya yang terlihat berat.
“Saqr, kamu harus tabah. Bapak tahu, Papi kamu sekarang di penjara. Dia belum diperkenankan kembali ke Magelang. Namun, Bapak membawa berita yang terdengar lebih buruk dari itu.”
Aku bertanya seribu pertanyaan dalam hatiku. Apa maksud Pak Darwis? Bapak yang ramah itu ingin melanjutkannya kembali.
“Saqr, maafkan Bapak. Mulai hari ini, kamu harus rela, harus ikhlas kehilangan salah satu orang yang teramat kamu sayangi. Kamu harus merelakan orang yang melahirkanmu, menimangmu, menatihmu, kembali kepada Sang Pencipta alam raya.”
Ketika Pak Darwis mengatakannya, jantung ini terasa sakit. Perih. Pedih. Aku mencoba bertanya, “Mengapa bisa terjadi, Pak?”
“Ummu kamu tertabrak sebuah truk ketika dia mengendarai mobilnya. Dia akan menjemputmu. Namun, ajal lebih dulu menjemputnya.”
“Apakah Bapak tahu? Ummiy, Ummiy masih mengandung calon adikku. Mengapa Allah harus mengambil orang-orang yang aku kasihi?”
Seketika itu aku berlari kembali ke rumah yang kini tak ada lagi penghuni yang lembut, penuh kasih sayang.
Teringat waktu kecil
Dia menimangku dengan ayunan kasih
Dia memelukku dengan pelukan hangat
Dia menghiburku ketika ku bersedih
Dia meneteskan air ketika ku bahagia
...
Ku harus rela
Sendiri. Sepi. Hampa
Tak ada kasih sayangnya
Tak ada air matanya
Dia telah mengandungku
Dalam sembilan sembilan bulan
Dia telah melahirkanku
Dengan penuh pengorbanan
Dia telah menatihku
Selama dua tahun bersamanya
Dia telah mendidikku
Selama hidupku dengannya
Dia telah mengasihiku
Setiap saat dalam hatinya
...
Tapi, itu sudah berlalu
Hanya tinggal kenangan dalam hatiku
Kenangan masa indah dulu
Kini hanya puing-puing rindu
Rindu yang tak kan bertemu
Bertemu dengan dirinya yang lugu
Ummiy, Ummiy, Ummiy
Ma’a salaamah
Ummiy, Ummiy, Ummiy
Fii hifthillah
Ummiy, Ummiy, Ummiy
Fii amaanillah
Ummiy, Ummiy, Ummiy
Fii ri’aayatillah
Ad’uu kulla waktin ‘alaika
Ad’uu kulla yaumin ‘alaika
Ad’uu kulla lailin ‘alaika
Ad’uu ilaa... ilahiy Robbiy
Ummiy, Ummiy, Ummiy
Ummiy, Ummiy, Ummiy
Ummiy, Ummiy, Ummiy
Ummiy, Ummiy, Ummiy...
Aku masih berlari di tengah buasnya kota. Ku tak bisa menatap mentari yang menyengat. Yang kupikirkan hingga saat ini adalah Ummiy. Ummiy. Dan Ummiy. Kemudian Papi.
Aku berlari tak terhenti. Dan di depan rumah yang sekarang dipenuhi kesedihan ini, tampak sebuah kereta tak berkuda dan tak beroda. Kereta yang hanya bisa dipikul oleh empat orang saja. Kereta yang tak semua orang boleh menaikinya. Kereta yang dimuat oleh satu orang saja. Kereta yang ditutup oleh kain bertuliskan, “Laa ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah.” Kereta yang diiringi pujian “Laa ilaha illallah.” Kereta itu adalah kereta untuk Ummiy hari ini. Kereta yang berangkat dari rumah yang kosong. Alangkah sakitnya diriku. Ku belum sempat melihat rautan wajahnya yang tabah untuk terakhir kali. Aku belum sempat melihat senyumannya yang terakhir. Ku belum sempat memandang senyumannya yang penuh kasih. Aku belum sempat dipeluk dalam kehangatannya yang terakhir. Tapi, terlambat. Kereta sudah dipikul menuju rumah masa depan bagi manusia yang masih bernyawa. Aku mengikuti kereta itu dari belakang. Tampak Paman Romi di sampingku. Dia memegang pundakku. Ini semakin mengingatkanku pada sosok yang berada dalam kereta panggul di depanku. Aku tertunduk sedih.
Setiba di tanah yang penuh gundukan dan satu lubang baru, kami menurunkan kereta itu. Aku terjun ke dalam lubang yang nanti menjadi rumah Ummiy yang baru. Ku menerima tubuh Ummiy yang penuh kasih sayang. Sebelum ku meletakkannya, ku cium pipi Ummiy yang masih ku rasakan kasih di dalamnya. Bagiku, dia masih hidup dalam hatiku. Ku melihat senyuman yang abadi dari bibirnya kepada semua orang yang melihatnya. Senyuman terakhir yang tak bisa ditarik kembali. Aku pun naik ke atas. Tanah kini menjadi selimut dalam tidurnya hingga akhir masa.
Aku berdo’a di depan tanah gundukan baru. Ku berdiri perlahan dan kembali ke rumah yang sepi. Sepi.
Kini gelap menyelimuti bumi. Ku sendiri dalam rumah yang sepi. Sepi. Dan sepi. Hampa. Hampa. Dan hampa. Kosong. Kosong. Dan kosong. Ku di dalam sepertiga malam terakhir. Ku di atas sajadah yang dingin. Ku berdo’a kepada yang Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan.
Ya, Allah. Ya, Rabbiy
Rahmatilah kedua orang yang hampa kasihi
Ya, Allah. Ampunilah dosa hamba
Dan ampunilah dosa keduanya
Ya, Allah. Lindungilah diri keduanya
Seperti mereka mengasuhku di masa kecil
Rabbighfirliy wa walidayya warhamhuma kama robbayani shoghiro
Berikanlah tempat yang indah bagi Ummiy
Berikanlah ketabahan bagi Papi
Berikanlah kesejukan bagi adik kecil
Berikanlah jalan kebenaran dalam hidup kami
Berikanlah kekuatan dalam diri kami
Ya, Allah. Kabulkan segala harapan kami
Ya, Allah. Kabulkan segala do’a kami
Ya, Allah. Kabulkan segala permohonan kami
Aamiin. Aamiin. Ya Rabbal ‘alamin.
Sehari berlalu. Tak tampak seorang ayah yang tabah. Aku sendiri. Sepi. Tiba-tiba sekelompok teman-teman satu kelasku dan guru-guru sekolahku menghadiri rumah yang tak hidup ini. Mereka menyalamiku satu persatu sambil melantunkan syair ketabahan. Namun, satu jam mereka di sini, seolah hanya sedetik dalam diri ini. Secepat angin yang berhembus. Kemudian, tamu Papi datang. Ku lihat Om Doni, rekan anggota legislatif Papi. Om Doni adalah rekan terdekat Papi, namun beda partai. Om Doni menemui ku dan melantunkan syair ketabahan. Dan mereka pun hanya secepat angin berhembus di hadapanku.
Siang telah terkubur oleh datangnya sore. Dan aku kini sendiri. Sendiri di tengah hujan yang tak bergerimis. Tetesan air hangat dari kedua bola mataku terhapus oleh tetes-tetes air langit yang berjuta-juta jatuh ke bumi. Ku basah. Ku kuyup. Ku pucat. Ku pasi. Tak ku sadari, hujan belumlah reda, tapi air tak lagi menetes di atas kepalaku. Aku tersadar, seolah berlian di sampingku. Aku menoleh perlahan. Sebuah cahaya yang menyinari kesendirianku. Dialah Rinda. Ya, Rinda. Rinda yang berjilbab putih dan berpakaian putih seolah cahaya yang menyinari bumi yang gelap, membawa payung di tengah lebatnya hujan. Dia tak peduli dirinya terguyur air yang lebat. Dia lebih mementingkan diriku yang sendirian terbasuh air hujan.
Rinda menoleh dan mengajakku untuk duduk. Ku ambil payung itu, dan ku letakkan di atas tanah basah. Rinda tertunduk dan berkata, “Kamu sendiri?”
Aku seketika menjawab, “Ya, aku sendiri. Sendiri dalam hidupku. Hatiku sepi tak ada yang mengisi. Aku sendiri. Orang-orang yang aku kasihi telah pergi dan tak kembali. Ummiy, Papi, dan calon adik, harus hilang dari sisiku kini. Aku sendiri. Aku sendiri. Aku sendiri, Rin.”
Rinda tersenyum di tengah dinginnya tiupan angin. “Saqr, kamu tak sendiri. Ada aku di sini, di dekatmu.”
Aku menjawab dengan tertunduk, “Namun, aku merasa sendiri tanpa orang yang aku kasihi.”
Rinda mencoba meyakinkan ku. “Saqr, kamu tak sendiri. Ada aku di sini. Tak selayaknya seorang yang berkerudung ini mengatakannya. Namun, ku tak punya daya untuk menahannya. Saqr, jadikan diriku menjadi orang menemanimu dalam sepi. Sehingga kau tak lagi sendiri. Aku bersedia mengisi hati seekor Elang yang diselimuti kabut sepi. Jadikanlah diriku cahaya yang memusnahkan kabut dalam hati. Aku adalah seekor kelinci yang berani mati dalam goresan Sang Elang yang sendiri. Aku ingin mengisi hatimu yang sepi. Aku tahu, betapa sakitnya dirimu, wahai Elang yang pasi.”
Aku menjawab, “Maka, janganlah kau tinggalkan sendiri Elang yang kesepian akan datangnya cahaya dalam hati. Isilah hati Elang yang sepi ini. Janganlah engkau tinggalkan Elang yang sendiri. Berjanjilah bahwa engkau kan selalu menemani hati ini.”
Rinda menjawab, “Dengan penuh percaya diri, kelinci ini bersedia menemani Sang Elang yang sendiri.”
Alangkah indahnya hidup ini. Sekarang ku tak merasa sendiri. Kini, kelinci pun bersedia menemani Elang yang malang. Hujan tak lagi memenuhi bumi. Ku ajak kelinci ini terbang ke pelosok bumi. Terbang mengelilingi isi hati.
Tak terasa, sesosok laki-laki perkasa menemui diriku yang didampingi dua anggota polisi. Dialah Papi. Dengan langkah kaki yang berayun, Papi menemui ku. Sebelum Papi angkat bicara, ku kenalkan Rinda kepada Papi dengan menyembunyikan statusku dengan Rinda, “Pi, perkenalkan. Ini Rinda, teman SMA Saqr.”
Setelah itu, Papi menarikku dan memelukku. Papi hanya berkata singkat dan menyodorkan sebuah surat sebelum kedua polisi itu mendekat, “Saqr, anakku. Papi hanya bisa memberikan ini. Papi tak bisa berbicara lebih dari ini. Baca surat ini! Papi yakin, engkau adalah anak jujur dan pembela kebenaran. Maka, beranilah untuk kebenaran. Papi menunggu engkau di meja hijau seminggu mendatang. Papi tak mau melibatkan pengacara dalam masalah ini. Papi tak bisa lama di sini. Papi harus kembali. Jaga dirimu baik-baik! Do’akanlah Ummumu! Dan tetaplah tabah! Papi tunggu di meja hijau.”
Seketika itu, aku hanya melihat punggung Papi yang dikawal dua orang polisi. Aku pasti mengerti dengan isi surat ini. Ku buka perlahan. Aku yakin ini adalah suatu kebenaran. Ini adalah kebenaran. Papi adalah orang yang jujur. Aku tahu itu.
Seminggu telah berlalu, teman-teman dan guru-guru di sekolahku telah mengetahui semua kebenaran ini. Mereka mempercayai diriku bahwa aku pasti bisa. Aku semakin percaya diri. Teman-teman sekelas dan beberapa guru terutama Pak Darwis, Wali Kelasku, dan Kepala Sekolah ikut mengantarku ke meja hijau. Rinda selalu mengisi hidupku. Dia meyakinkanku bahwa aku pasti bisa.
Kami pun tiba di meja hijau. Ku melihat wajah Papi yang pasi. Namun, ketika Papi menatapku, wajah Papi serasa bercahaya. Papi percaya bahwa aku pasti bisa. Persidangan dimulai dan dibuka oleh Hakim Agung.
Papi diantar ke kursi terdakwa. Ku melihat salah seorang pengurus partai Papi berdiri di mimbar dan berkata, “Bapak Hakim yang saya hormati. Partai kami tidaklah mengajarkan anggota kami untuk menyisihkan uang rakyat. Kebiasaan seperti itu bukanlah kebiasaan partai kami. Kami tidak mendidik anggota partai kami bertindak hal keji semacam itu. Sebelum pemilihan legislatif, kami sudah memilih siapa saja yang berhak menjadi anggota legislatif dan kami mengadakan suatu seleksi. Mereka yang lolos seleksi adalah mereka yang hidupnya pasti dengan kejujuran. Jadi, kami mohon Bapak Hakim memutuskan dengan bijaksana. Jika dia tak bersalah, maka tolong kembalikan nama baik partai kami dan terdakwa. Dan jika dia bersalah, hukumlah dengan hukuman yang setimpal.”
Aku percaya bahwa kebenaran pasti menang. Kejujuran pasti tak terkalahkan. Aku yakin itu.
Kemudian, para saksi mulai mengutarakan kesaksian mereka. Ada sembilan saksi yang mengutarakannya. Dan salah seorang dari mereka adalah Om Doni, rekan terdekat Papi sendiri. Dia berkata, “Bapak Hakim yang saya hormati. Bapak Susilo adalah orang terdekat saya. Beliau sangat dekat dengan saya. Saya tahu, beliau memang selalu jujur. Namun, tidak untuk ini. Dia rela memakai uang rakyat untuk mencukupi keluarganya. Lihat saja! Istrinya yang seminggu lalu meninggal dunia hanya ibu rumah tangga. Anaknya, Saqr, masih sekolah. Jadi, dialah tulang punggung keluarga. Dan keluarganya memiliki harta yang melimpah. Darimana lagi kalau bukan dari uang rakyat. Kemudian, saya pernah diajak olehnya untuk menyisihkan uang rakyat, tapi saya tolak mentah-mentah. Saya mengatakan bahwa saya anti dengan hal semacam itu. Maaf, Pak Susilo. Dulu saya merahasiakan ini, tapi untuk saat ini, saya harus jujur.”
Papi berteriak, “BOHONG! DUSTA!”
Hakim Agung mengetuk meja dengan palu besarnya. Kemudian Hakim Agung menenangkan persidangan dan berkata, “Kepada penggugat, kami persilakan untuk mengajukan gugatannya.”
Aku berdiri dan berjalan ke mimbar. Aku menata posisiku agar lebih nyaman. Aku mulai angkat lidah yang sejam silet bahkan setajam perisai ini.
“Assalaamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh. Bapak Hakim yang saya hormati. Di sini saya sebagai penggugat. Pertama, saya akan menjelaskan siapa Ir. Susilo Prasetyo ini. Saya adalah anak tunggal beliau. Saya tahu persis siapa beliau. Selama tujuh belas tahun saya hidup bersamanya, saya tidak pernah melihatnya curang kepada siapapun. Semenjak kecil, saya dilatih kejujuran olehnya dan dalam keadaan apapun saya harus jujur. Saya tahu bahwa beliau adalah orang yang tidak memakan lidahnya sendiri. Dia mendidik saya tentang kejujuran, maka tidaklah mungkin dia memakan lidahnya sendiri. Kedua, ayah saya, Ir. Susilo Prasetyo, tidaklah mengenal orang-orang atau saksi-saksi ini kecuali Bapak Doni, teman terdekat ayah saya. Ayah saya selalu menyimpan foto dan data orang yang beliau kenal. Dan saya belum pernah melihat delapan orang yang lain selain Bapak Doni. Seharusnya, jika ayah saya mengenal delapan orang yang lain ini, data mereka ada di urutan terbawah. Ketiga, ini adalah data yang lebih real. Ini adalah cek yang ditandatangani bukan dengan tangan ayah saya. Saya tahu persis bagaimana tanda tangan ayah. Ini bukan tanda tangan tinta pena. Ini adalah tanda tangan hasil scanner dan saya bisa mempertanggung-jawabkannya. Ini hanya tipuan belaka. Saya yakin pelakunya ada di sini. Karena yang mempunyai tanda tangan asli ayah saya dalam kertas kosong hanya beberapa orang saja. Saya yakin para saksi ini adalah saksi bayaran. Terima kasih. Assalaamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh.”
Kemudian salah satu dari saksi itu segera ke mimbar dan berkata,”Bapak Hakim yang saya hormati. Benar apa kata anak ini. Kami hanya saksi bayaran. Kami dibayar oleh koruptor sebenarnya. Kami para saksi bayaran rela masuk jeruji besi karena kami telah mengerti betapa kuatnya kebenaran. Dan kami akui, koruptor sebenarnya adalah Bapak Doni, teman Bapak Susilo sendiri. Dia mengorbankan Bapak Susilo agar statusnya tertutup. Terima kasih.”
Beberapa polisi segera menangkap Om Doni. Aku pun tak menyangka, Om Doni rela membohongi kami. Om Doni yang baik rela mengkhianati kami. Mengapa Om Doni bisa berbuat sekeji itu? Apa ada sesuatu di balik ini? Apakah ada hubungannya dengan Papi? Atau ada hubungannya dengan Ummiy?
Papi diantar salah seorang anggota polisi menemuiku yang berdiri di samping Rinda. Papi memelukku. Aku sadar. Aku melihat Om Doni membawa senjata api dari kejauhan. Dia mencoba menembak Papi. Aku segera merampas senjata api polisi di samping Papi. Terlambat. Peluru dari senjata api Om Doni sudah terlepas. Aku tak kuasa melepaskan peluru dari senjata yang ku pegang. Peluru dari Om Doni semakin mendekat. Ku tutup tubuh Papi. Jep. Peluru itu menggores bilik kanan jantungku dan tertanam di dalamnya. Aku terjatuh dan ku katakan kepada Papi dan Rinda, “Pi, maafkan Saqr, ya. Saqr sudah membentak Papi. Sudah tak percaya Papi. Terima kasih, Papi sudah mendidik Saqr tentang artinya kehidupan. Rin, terima kasih, ya, kau telah mengisi hati Elang yang sepi. Pi, Rin, mungkin hidup ini tak kan lama. Janganlah kalian panggil ambulance ke sini, karena itu sia-sia. Aku tak mau melihat air mata kalian menetes dari mata kalian. Aku hanya ingin senyuman dan ajari aku untuk mengucapkan dua kalimat syahadat.” “Asyhadu alla ilaha illallah. Wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah.” Aku menutupkan kedua mataku. Aku terasa tersenyum dan sakit seperti di tusuk ribuan pedang di seluruh tubuhku. Dan aku tak tahu dimana aku saat ini.