Rabu, 21 Oktober 2009

Aku, Elang Pemangsa Tikus





















Karya :
Xnoodeent el Aacheem
[IkhsannudinAl Hakim]

Ini adalah waktu yang begitu indah. Aku berdiri di dekat jendela rumahku. Aku menatap alam raya yang mempesona. Mentari menyembunyikan diri di balik tirai mega merah. Kelelawar menyambut waktu ini untuk menyantap makanan. Burung-burung kembali ke sarang untuk berkumpul bersama keluarga. Gagak hitam mengepakkan sayap dan bernyanyi di tengah hembusan sepoi angin. Hutan menyembunyikan hewan-hewan dalam kelebatan dan kegelapannya. Mentari memutuskan untuk melihat belahan bumi lain. Mega merah melemah hingga menggelapkan dirinya. Berlian-berlian berkilauan di hamparan gelap yang dingin. Kunang-kunang elektrik menghiasi dunia Magelang. Penakhluk Malam menampakkan dirinya yang mencoba menyelimuti dunia dengan terangnya di antara gelap dan dingin. Aku pun lelah. Aku pun lelap. Yang ku lihat hanyalah gelap. Gelap. Dan semakin gelap.

“Saqr! Saqr! Qum! Qum! Sholu! Bi sur`ah! Ayo bangun! Sudah Subuh! Sholat Subuh dulu! Papi sudah tunggu kamu!”

“Na’am, Ummiy. Saaqum.”

Ummiy, biasa. Suaranya menggetarkan alam bawah sadar ku. Setiap pagi aku harus mendengarnya. Tapi, itu konsekuensiku ketika aku tidur di rumah. Karena, aku hanya bisa membuka kedua bola mataku jika aku mendengar suara Ummiy ketika di rumah. Lalu, aku beranjak dari papan empuk ke pancuran air untuk mengambil air wudhu dan melangkahkan kakiku menuju Baitullah yang suci.

Ummiy adalah sosok ibu rumah tangga yang baik hati, penuh kasih sayang. Nama lengkapnya Yasmin Nurul Ummah. Orang-orang memanggilnya Bu Yasmin atau Bu Susilo. Ummiy berasal dari Riyadh, Arab Saudi. Ummiy juga sosok ibu yang patuh pada suami, pada Papi. Papi adalah orang Jawa tulen. Orang Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Papi adalah salah satu anggota legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tingkat Jawa Tengah. Papi sering mengajariku tentang kejujuran semenjak kecil, karena Papi sejak kecil terbiasa dengan yang namanya kejujuran. Bahkan, teman-temanku menyebutku Si Pelit, orang yang pelit ketika ulangan.

Sementara aku, lahir di Magelang, 17 tahun yang lalu. Sebelum aku lahir, Ummiy dan Papi sudah menyiapkan dua nama untukku. Tapi, saat ini aku hanya diambilkan dari salah satu nama itu, Muhammad Saqru Prasetyo, orang-orang biasa memanggilku Saqr. Namun, jangan sampai menyebutku Saqor, karena Saqor adalah nama salah satu dari nama neraka. Ini adalah arti namaku, Muhammad adalah Elang keluarga Prasetyo. Muhammad adalah Nabi kami umat Islam. Saqru berasal dari bahasa Arab yang artinya Elang. Dan Prasetyo, diambil dari nama belakang Papi. Nama Papiku, Ir. Susilo Prasetyo. Maka dari itu, Ummiy juga ada yang memanggil Bu Susilo bahkan Bu Pras, Bu Setyo, atau Bu Prasetyo. Aku anak tunggal. Tapi, Papi dan Ummiy tak pernah memanjakan diriku. Hingga saat ini, aku masih menunggu kehadiran seseorang yang kelak memanggilku “kakak” yang masih di dalam kantong air ketuban dalam uterus Ummiy.

“Pagi, Saqr. Kamu mau ikut pesta?” tanya Berinda, cewek cantik berjilbab panjang keturunan Perancis. Nama panjangnya, Berinda Sofia Sabila. Teman-teman biasa memanggilnya, Berinda. Kalau aku cukup dengan, “Rinda”. Dia adalah primadona di sekolahku. Aku pun bingung harus menjawab apa ketika permata ini bertanya. Maka hanya sepatah kata yang ku keluarkan dari lidah yang setajam perisai ini, “Pesta?”

Rinda tersenyum begitu mempesona dan membalas pertanyaanku. “Iya, pesta. Kelas kita mau mengadakan pesta siang ini. Habis tes. Untuk refreshing, gitu.”

“Okey,lah,” kataku singkat sambil berjalan berdampingan dengan Rinda.

“Tadi malam kamu sudah belajar Matematika? Hari ini kan, tes terakhir. Matematika, lagi. Pusing.”

Aku tersenyum ketika Rinda mengeluarkan kata-kata yang keluar dari bibirnya yang tipis. Apalagi kedua pipinya membuat lesung. Membuatnya semakin mempesona. Cahaya seakan terpancar dari wajahnya yang berbunga-bunga.

“Aku? Aku sudah belajar, kok,” jawabku yang merasakan jantungku berdebar-debar. Duk. Duk. Duk.

“Saqr, kamu hebat, ya? Tes sudah satu minggu. Tapi, sedikit pun kamu tak juga mengambil jawaban orang lain maupun memberi jawaban kepada orang lain. Aku salut.”

“Ah, kamu, Rin. Bisa saja. Aku dulu pernah bilang kepada teman-teman. Mencontek itu adalah perilaku yang mencerminkan ketidakjujuran. Dan ketidakjujuran itu bisa berakibat fatal, seperti korupsi. Nah, jika kita terbiasa tidak takut untuk mencontek, kelak ketika kita menjadi orang yang besar, bisa jadi kita tidak takut untuk korupsi. Jadi mencontek itu, awal dari korupsi.”

Aku pun masuk ke ruang tes dan mengerjakan tes Matematika. Tik. Tik. Tik. Waktu sudah berlalu. Tak ada satu pun yang meminta jawaban dariku.

Bel tiga kali berbunyi, tanda tes sudah usai. Dan ini juga tanda bahwa pesta dimulai.

Hei, pesta sudah mulai...

Hei, sekarang kita santai...

...

Saat ini kubahagia...

Berkumpul bersama tebarkan pesona

Senyummu melebar, membuat hati berdebar

Hatiku terbakar, auramu terpancar

Ayo teriakkan!

Hei, pesta sudah mulai...

Hei, sekarang kita santai...

Hei, pesta sudah mulai...

Hei, sekarang kita santai...

...

Hilangkan sedihmu

Musnahkan bebanmu

Mainkan gerakmu

Ayunkan badanmu

Buanglah pusingmu

Ajaklah temanmu

Yo...

Hei, pesta sudah mulai...

Hei, sekarang kita santai...

Hei, pesta sudah mulai...

Hei, sekarang kita santai...

“Wah, tes Matematika tadi mudah banget, ya? Gila. Aku tak menyangka, soalnya tak begitu sulit,” kata Surya, cowok yang tak begitu pandai akan tetapi sombong. Dia hanya mengandalkan jawaban teman-teman, terutama Safi’i, siswa terpandai di sekolahku. Masa bodoh, ah. Mau sulit mau susah, lagi pula sudah usai. Buat apa aku mengurusi kata-katanya. Tak penting. Lebih baik refreshing bersama teman-teman.

Sir. Sir. Sir. Hatiku berdesir. Aku merasa ada hal yang ganjil saat ini. Aku menoleh ke arah yang berlawanan dari semula. Aku melihat sosok wanita berambut lurus membawa kipas. Siapa lagi kalau bukan, Sonia, Sang MiGos, Miss Gossip terpanas di sekolahku. Cara berjalannya seolah-olah memiliki daya tarik orang-orang untuk mendekatinya karena Sang MiGos selalu membawa berita yang up to date. Aku tak mau berurusan dengannya. Aku lebih baik duduk di pojok ruangan. Duduk di atas kursi coklat berkaki empat. Aku menginjak lantai putih yang tak begitu kotor dan tak begitu bersih. Aura di ruangan ini terasa membuat diriku tersisihkan. Sendiri. Tak ada yang menemani.

Sonia berkata dengan suara yang menggelegar, “Good afternoon, Ladies and Gentlemen. I have a new news. Baca ini!” Sonia membagi-bagikan lembaran-lembaran fotokopi dari sebuah surat kabar yang terbit setiap sore. Tiba-tiba, semua teman-temanku menatapku dengan tatapan yang sadis. Seolah-olah Sang Elang ini berhadapan dengan ribuan hewan buas yang lain. Mata Elang ini tak kuasa menatap ribuan tatapan mata mereka. Elang yang malang. Elang yang tak mengerti mengapa harus terbang.

Sonia mendekatiku dan berkata, “Aduhai, teman-teman. Ternyata teman kita yang sok jujur ini. Yang pelit ini. Yang sok bersih ini. Dia adalah anak tikus berdasi yang memakan uang rakyat. Dia “OT”, “Omong Thok”. Tak sesuai dengan fakta dan realita.”

Aku berteriak, “Apa maksud semua ini?”

Sonia melemparkan lembaran-lembaran tadi ke mukaku. “Baca!” lembaran-lembaran itu melayang-layang di depan wajahku. Aku pun membacanya. Betapa terkejutnya diriku ini. Sosok yang selama ini mengenalkan diriku tentang kejujuran, ternyata memakan lidahnya sendiri.

Sonia mencaci-maki diriku bersama teman-teman.

Aduhai negeriku...

Mengapa kau rela...

Rela tikus-tikus berdasi menjabat

Dan merampas uang rakyat

Aduhai bangsaku...

Mengapa kau lalai...

Lalai menangkap tikus pemangsa

Tikus pembohong bergelar dusta

Aku berlari dari ruang pesta. Aku semakin dekat dengan pintu rumah Sang Tikus yang memiliki anak seperti ku. Pintu yang gelap. Pintu yang kotor. Pintu yang mengantarku ke kepedihan. Aku gedor pintu itu. Aku melemparkan tas ke ranjang. Aku tutup rapat telingaku. Aku tak mau mendengar cacian itu lagi. Aku muak. Aku ingin sendiri. Sendiri. Dan sendiri.

Ummiy datang dengan ayunan kaki yang lemah menemui ku. Dia terlihat dari balik pintu kamarku. Dia duduk di sampingku. Aku menurunkan tanganku. Aku masih menaikkan adrenalinku yang semakin tinggi.

“Ummiy, apa-apaan dengan semua ini? Aku tak rela punya ayah Sang Koruptor, pemakan uang rakyat. Dan kita juga pemakan uang rakyat, Ummiy.” Aku berdiri serta meletakkan lembaran tadi ke pangkuan Ummiy. Ummiy terdiam seribu bahasa. Ummiy tertunduk seolah mengerti maksud ucapanku. Ucapan yang yang keluar dari perisai tajam ini. Ummiy menangis. Aku pun meninggalkan Ummiy dan berkata, “Aku tak sudi punya ayah seorang Koruptor, seorang pecundang yang memakan lidahnya sendiri. Tak tahu malu.”

Ummiy berteriak, “Cukup Saqr! Kholas! Laa taf’al bikadza! Kholas! Usquth!”

Detik telah berubah menit. Menit sudah berubah jam. Dua belas jam sudah berlalu. Ku mendengar suara Ummiy yang menggelegar di pagi hari. Aku membuka mataku di atas pulau yang sempit. Ku tak berucap sepatah dua patah katapun pada Ummiy. Ayam berkokok seolah berpaling akan datangnya Raja yang bersinar di ufuk Timur. Burung-burung melantunkan syair-syair kesedihan untukku. Angin tak bertiup sesepoi kerinduan. Awan-awan pun membuat suliet kepahitan.

Ku melihat uang saku sudah di atas ranjang. Ku berjalan menuju ruang makan. Ku lihat Ummiy yang menyambutku dengan senyuman. Tapi, aku tak selera dengan semua ini. Aku bisu untuk sementara waktu ini. Aku tak berucap pada Ummiy. Bahkan salam pun tak berbunyi.

Di sekolah, ku tak kuat lagi. Ketika semua siswa mencaci-maki. Tak ada sandaran bagi hidupku yang sendiri. Sepi. Tak berarti. Aku menyendiri. Tak peduli. Rinda mendekati, aku pun berlari, jauh tak terhenti.

Ku masuk rumah angker itu kembali. Rumah yang penuh teka-teki. Rumah yang diselimuti aroma melati. Aroma orang mati. Sepi. Bagai tak berpenghuni. Ku lihat Ummiy di dekat jendela berjeruji. Ku ucapkan salam, “Assalaamu’alaikum, ya Ummiy.” Ku berjalan dengan ayunan lirih. Ummiy menolehkan diri. Ummiy membalas salam yang sepi. Ummiy mendekatiku yang letih.

Ummiy membantuku duduk di atas kursi, “Ya, Bunayya. Li madza?” tanya Ummiy yang sedang memakai jilbab panjang dan pakaian berwarna biru muda.

“Ummiy, aku kecewa terhadap orang yang telah mendidikku tentang kejujuran, ternyata fakta berkata lain dan sekarang terkurung dalam jeruji besi. Dan yang lebih mengecewakan lagi, teman-temanku semakin menjadi-jadi ketika mencaci-maki diriku. Bahkan, aku juga sempat menerima kata “OT” dari teman-temanku,” kataku perlahan.

Ummiy bertanya dengan lembut sambil menata jilbabnya yang rapi, “OT? Apa itu?”

Aku menjawab, “OT itu singkatan dari Omong Thok, yang artinya cuma bicara tak ada fakta. Aku kecewa dengan hidup ini.”

Ummiy memegang tangan kananku. Tangan Ummiy terasa hangat. Terasa lembut. Penuh kasih sayang. “Saqr yang Ummiy kasihi, tolong percayalah pada Papimu. Kali ini, Ummiy akan mengajakmu ke jeruji besi, tempat Papimu tinggal.” Ummiy mengatakannya dengan penuh keyakinan.

Kami pun tiba di Kapolda Jawa Tengah dengan mobil yang Ummiy kendarai. Kami pun diantar ke tempat Papi tinggal saat ini. Aku dan Ummiy dipertemukan dengan Papi. Seketika itu, aku yang sebelumnya duduk santai, langsung berdiri secepat kilat dan wajah yang tak ku atur sebelumnya.

Aku berkata kasar, “Aku kecewa. Aku tak rela. Aku tak bisa percaya terhadap engkau, wahai Bapak Tikus. Aku tak percaya, ternyata orang yang selama ini melatih kejujuran dan menyatakan tak akan memeras uang rakyat, ternyata semua itu dusta belaka. Aku tak bisa memaafkan engkau. Jujur, Pi. Aku kecewa. Sakit, Pi. Sakit. Dan jangan anggap aku sebagai Elangmu, karena aku bisa mengambil darahmu dan mencabik tubuhmu.” Aku berlari keluar dari tempat itu. Ummiy meneriakiku. Aku teringat wajah Papi yang terlihat menyesal dan ingin menyampaikan sesuatu ketika ku berkata sedemikian. Aku menaiki kendaraan umum yang terasa sepi.

Di saat yang gelap ini, aku berada di depan pintu rumah Tikus kembali. Rumah yang membuatku sangat berbeda. Rumah yang ditinggali oleh anak yang malu terhadap ayahnya sendiri. Aku buka perlahan dan mengucapkan salam. “Assalaamu’alaikum.” Jawaban salam tiba-tiba terdengar semakin mendekat. Itulah Ummiy, yang ternyata tiba lebih awal dibandingkan diriku. Ummiy menuruni tangga sambil membawa mukena yang putih suci. Tersenyum. Mata indahnya ikut berkedip.

Ummiy mendekatiku dan mengajakku duduk. “Saqr, janganlah kau berucap seperti tadi. Ummiy tak pernah suka hal semacap itu.”

Dan ku ucapkan, “Ummiy, aku...aku harus bagaimana? Aku sudah malu.”

Ummiy memegang pundakku sambil memijatnya yang membuatku teringat akan masa kecil yang pernah ku lewati. Terasa indah. Terasa nyaman. Terasa aman. Aku jatuh lemas. Aku adalah Elang yang sudah ditakhlukkan oleh kasih sayang. Ummiy melanjutkan ucapannya, “Saqr yang sangat Ummiy banggakan. Saqr harus tabah. Saqr harus kuat. Ummiy percaya kalau Papi tak pernah melakukan hal keji itu. Hanya Allah Yang Maha Mengetahui atas segala sesuatu. Dan ini tak mungkin terjadi. Laa yunkin! Hadzihil fitnah! Hadzihil kadzibah! Laa yunkin abika laqod fa’ala bikadza. Ini fitnah! Ini bohong!

Manusia tidaklah sempurna

Ada salah dan juga lupa

Ada nyata dan ada dusta

Yang tahu hanya Dzat Yang Maha Kuasa

Ya Robbiy, Ya Robbiy

Tunjukkanlah kami kebenaran-Mu

Berikanlah kami ketabahan-Mu

Bukankah kami makhluk yang fana

Engkaulah Yang Maha Bijaksana

Wa nahnu illa ‘ibaadaka

Wa nahnu illa annaasa

Wa nahnu laqod dzakarna

Wa nahnu fii dunyaka

Tunjukkanlah kami jalan-Mu yang lurus

Shirathokal mustaqiim

Wahai Allah, naungilah kami dalam kebenaran

Dan berikanlah kami ketabahan

Aku menatap Ummiy. Wajah Ummiy terukir aliran sungai kecil yang bening. Kedua matanya berkaca-kaca. Berkilauan bagai berlian. Basah yang tak bisa kering. “Ummiy, apa yang sebenarnya terjadi?”

Ummiy tersenyum mendengar pertanyaanku. “Saqr, bukankah engkau tak percaya terhadap hal ini? Bukankah engkau juga kecewa terhadap peristiwa ini? Bukankah engkau tak rela semua ini terjadi? Maka, perjuangkanlah kebenaran. Tetaplah tabah. Berdo’alah kepada Sang Khaliq. Mintalah ketabahan dan penunjuk jalan yang benar. Ummiy tahu engkau kuat menghadapi semua ini, Saqr. Karena cobaan-Nya tak pernah keluar dari batas kemampuan manusia.”

Aku mengangguk dan mencoba mengerti semua ini. Aku pun minta maaf telah berkata kasar terhadap Ummiy. “Ummiy, maafkan Saqr. Saqr khilaf. Saqr telah menyakiti orang yang telah berjuang untuk mendatangkan ku ke dunia yang fana ini. Saqr telah menyakiti hati orang yang memiliki surga di bawah telapak kakinya.”

“Ummiy tahu, Saqr. Ummiy selalu memaafkan anak yang patuh terhadap Allah, Nabi, dan kedua orang tuanya.”

Malam telah berganti pagi. Bagiku, pagi ini adalah pagi yang terindah dibanding pagi-pagi yang lalu. Pagi yang penuh semangat. Pagi yang diwarnai cahaya cerah. Burung-burung yang bernyanyi sorak-sorai kegembiraan. Angin yang berhembus selembut sutra. Alangkah indahnya pagi ini. Aku tak peduli ketika teman-temanku mulai mencaci. Aku harus tabah. Aku harus kuat. Aku melihat hasil tes sementara yang diadakan selama satu minggu. Hasilnya pun memuaskan. Tak ada nilai memerah dalam lembar jawaban.

Rinda. Rinda mendekatiku dan berkata, “Selamat, ya, Saqr. Sekarang kamu harus tabah. Harus kuat menanggapi peristiwa ini. Aku yakin semua ini hanya kesalahan dan semoga ayah kamu tak pernah melakukannya.”

Aku menjawab, “Terimakasih, Rin. Mungkin hanya kamu, satu-satunya teman yang bisa percaya terhadapku.”

Tiba-tiba aku mendengar panggilan yang ditujukan kepadaku. Aku dipanggil untuk hadir ke kantor guru. Pak Darwis terlihat di depan pintu keabu-abuan. Dia berdiri untuk mengabarkan berita kepada diriku. Ku datangi dirinya perlahan.

Pak Darwis memegang pundakku. Aku teringat Ummiy yang selalu memijat pundakku. Namun, ini tidak. Pak Darwis adalah teman kuliah Papi. Jadi, Pak Darwis mengerti keluarga kami. Wajah Pak Darwis tampak pucat pasi. Tak ada cahaya yang mewarnai. Pak Darwis mencoba mengambil kata-katanya yang terlihat berat.

“Saqr, kamu harus tabah. Bapak tahu, Papi kamu sekarang di penjara. Dia belum diperkenankan kembali ke Magelang. Namun, Bapak membawa berita yang terdengar lebih buruk dari itu.”

Aku bertanya seribu pertanyaan dalam hatiku. Apa maksud Pak Darwis? Bapak yang ramah itu ingin melanjutkannya kembali.

“Saqr, maafkan Bapak. Mulai hari ini, kamu harus rela, harus ikhlas kehilangan salah satu orang yang teramat kamu sayangi. Kamu harus merelakan orang yang melahirkanmu, menimangmu, menatihmu, kembali kepada Sang Pencipta alam raya.”

Ketika Pak Darwis mengatakannya, jantung ini terasa sakit. Perih. Pedih. Aku mencoba bertanya, “Mengapa bisa terjadi, Pak?”

“Ummu kamu tertabrak sebuah truk ketika dia mengendarai mobilnya. Dia akan menjemputmu. Namun, ajal lebih dulu menjemputnya.”

“Apakah Bapak tahu? Ummiy, Ummiy masih mengandung calon adikku. Mengapa Allah harus mengambil orang-orang yang aku kasihi?”

Seketika itu aku berlari kembali ke rumah yang kini tak ada lagi penghuni yang lembut, penuh kasih sayang.

Teringat waktu kecil

Dia menimangku dengan ayunan kasih

Dia memelukku dengan pelukan hangat

Dia menghiburku ketika ku bersedih

Dia meneteskan air ketika ku bahagia

...

Ku harus rela

Sendiri. Sepi. Hampa

Tak ada kasih sayangnya

Tak ada air matanya

Dia telah mengandungku

Dalam sembilan sembilan bulan

Dia telah melahirkanku

Dengan penuh pengorbanan

Dia telah menatihku

Selama dua tahun bersamanya

Dia telah mendidikku

Selama hidupku dengannya

Dia telah mengasihiku

Setiap saat dalam hatinya

...

Tapi, itu sudah berlalu

Hanya tinggal kenangan dalam hatiku

Kenangan masa indah dulu

Kini hanya puing-puing rindu

Rindu yang tak kan bertemu

Bertemu dengan dirinya yang lugu

Ummiy, Ummiy, Ummiy

Ma’a salaamah

Ummiy, Ummiy, Ummiy

Fii hifthillah

Ummiy, Ummiy, Ummiy

Fii amaanillah

Ummiy, Ummiy, Ummiy

Fii ri’aayatillah

Ad’uu kulla waktin ‘alaika

Ad’uu kulla yaumin ‘alaika

Ad’uu kulla lailin ‘alaika

Ad’uu ilaa... ilahiy Robbiy

Ummiy, Ummiy, Ummiy

Ummiy, Ummiy, Ummiy

Ummiy, Ummiy, Ummiy

Ummiy, Ummiy, Ummiy...

Aku masih berlari di tengah buasnya kota. Ku tak bisa menatap mentari yang menyengat. Yang kupikirkan hingga saat ini adalah Ummiy. Ummiy. Dan Ummiy. Kemudian Papi.

Aku berlari tak terhenti. Dan di depan rumah yang sekarang dipenuhi kesedihan ini, tampak sebuah kereta tak berkuda dan tak beroda. Kereta yang hanya bisa dipikul oleh empat orang saja. Kereta yang tak semua orang boleh menaikinya. Kereta yang dimuat oleh satu orang saja. Kereta yang ditutup oleh kain bertuliskan, “Laa ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah.” Kereta yang diiringi pujian “Laa ilaha illallah.” Kereta itu adalah kereta untuk Ummiy hari ini. Kereta yang berangkat dari rumah yang kosong. Alangkah sakitnya diriku. Ku belum sempat melihat rautan wajahnya yang tabah untuk terakhir kali. Aku belum sempat melihat senyumannya yang terakhir. Ku belum sempat memandang senyumannya yang penuh kasih. Aku belum sempat dipeluk dalam kehangatannya yang terakhir. Tapi, terlambat. Kereta sudah dipikul menuju rumah masa depan bagi manusia yang masih bernyawa. Aku mengikuti kereta itu dari belakang. Tampak Paman Romi di sampingku. Dia memegang pundakku. Ini semakin mengingatkanku pada sosok yang berada dalam kereta panggul di depanku. Aku tertunduk sedih.

Setiba di tanah yang penuh gundukan dan satu lubang baru, kami menurunkan kereta itu. Aku terjun ke dalam lubang yang nanti menjadi rumah Ummiy yang baru. Ku menerima tubuh Ummiy yang penuh kasih sayang. Sebelum ku meletakkannya, ku cium pipi Ummiy yang masih ku rasakan kasih di dalamnya. Bagiku, dia masih hidup dalam hatiku. Ku melihat senyuman yang abadi dari bibirnya kepada semua orang yang melihatnya. Senyuman terakhir yang tak bisa ditarik kembali. Aku pun naik ke atas. Tanah kini menjadi selimut dalam tidurnya hingga akhir masa.

Aku berdo’a di depan tanah gundukan baru. Ku berdiri perlahan dan kembali ke rumah yang sepi. Sepi.

Kini gelap menyelimuti bumi. Ku sendiri dalam rumah yang sepi. Sepi. Dan sepi. Hampa. Hampa. Dan hampa. Kosong. Kosong. Dan kosong. Ku di dalam sepertiga malam terakhir. Ku di atas sajadah yang dingin. Ku berdo’a kepada yang Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan.

Ya, Allah. Ya, Rabbiy

Rahmatilah kedua orang yang hampa kasihi

Ya, Allah. Ampunilah dosa hamba

Dan ampunilah dosa keduanya

Ya, Allah. Lindungilah diri keduanya

Seperti mereka mengasuhku di masa kecil

Rabbighfirliy wa walidayya warhamhuma kama robbayani shoghiro

Berikanlah tempat yang indah bagi Ummiy

Berikanlah ketabahan bagi Papi

Berikanlah kesejukan bagi adik kecil

Berikanlah jalan kebenaran dalam hidup kami

Berikanlah kekuatan dalam diri kami

Ya, Allah. Kabulkan segala harapan kami

Ya, Allah. Kabulkan segala do’a kami

Ya, Allah. Kabulkan segala permohonan kami

Aamiin. Aamiin. Ya Rabbal ‘alamin.

Sehari berlalu. Tak tampak seorang ayah yang tabah. Aku sendiri. Sepi. Tiba-tiba sekelompok teman-teman satu kelasku dan guru-guru sekolahku menghadiri rumah yang tak hidup ini. Mereka menyalamiku satu persatu sambil melantunkan syair ketabahan. Namun, satu jam mereka di sini, seolah hanya sedetik dalam diri ini. Secepat angin yang berhembus. Kemudian, tamu Papi datang. Ku lihat Om Doni, rekan anggota legislatif Papi. Om Doni adalah rekan terdekat Papi, namun beda partai. Om Doni menemui ku dan melantunkan syair ketabahan. Dan mereka pun hanya secepat angin berhembus di hadapanku.

Siang telah terkubur oleh datangnya sore. Dan aku kini sendiri. Sendiri di tengah hujan yang tak bergerimis. Tetesan air hangat dari kedua bola mataku terhapus oleh tetes-tetes air langit yang berjuta-juta jatuh ke bumi. Ku basah. Ku kuyup. Ku pucat. Ku pasi. Tak ku sadari, hujan belumlah reda, tapi air tak lagi menetes di atas kepalaku. Aku tersadar, seolah berlian di sampingku. Aku menoleh perlahan. Sebuah cahaya yang menyinari kesendirianku. Dialah Rinda. Ya, Rinda. Rinda yang berjilbab putih dan berpakaian putih seolah cahaya yang menyinari bumi yang gelap, membawa payung di tengah lebatnya hujan. Dia tak peduli dirinya terguyur air yang lebat. Dia lebih mementingkan diriku yang sendirian terbasuh air hujan.

Rinda menoleh dan mengajakku untuk duduk. Ku ambil payung itu, dan ku letakkan di atas tanah basah. Rinda tertunduk dan berkata, “Kamu sendiri?”

Aku seketika menjawab, “Ya, aku sendiri. Sendiri dalam hidupku. Hatiku sepi tak ada yang mengisi. Aku sendiri. Orang-orang yang aku kasihi telah pergi dan tak kembali. Ummiy, Papi, dan calon adik, harus hilang dari sisiku kini. Aku sendiri. Aku sendiri. Aku sendiri, Rin.”

Rinda tersenyum di tengah dinginnya tiupan angin. “Saqr, kamu tak sendiri. Ada aku di sini, di dekatmu.”

Aku menjawab dengan tertunduk, “Namun, aku merasa sendiri tanpa orang yang aku kasihi.”

Rinda mencoba meyakinkan ku. “Saqr, kamu tak sendiri. Ada aku di sini. Tak selayaknya seorang yang berkerudung ini mengatakannya. Namun, ku tak punya daya untuk menahannya. Saqr, jadikan diriku menjadi orang menemanimu dalam sepi. Sehingga kau tak lagi sendiri. Aku bersedia mengisi hati seekor Elang yang diselimuti kabut sepi. Jadikanlah diriku cahaya yang memusnahkan kabut dalam hati. Aku adalah seekor kelinci yang berani mati dalam goresan Sang Elang yang sendiri. Aku ingin mengisi hatimu yang sepi. Aku tahu, betapa sakitnya dirimu, wahai Elang yang pasi.”

Aku menjawab, “Maka, janganlah kau tinggalkan sendiri Elang yang kesepian akan datangnya cahaya dalam hati. Isilah hati Elang yang sepi ini. Janganlah engkau tinggalkan Elang yang sendiri. Berjanjilah bahwa engkau kan selalu menemani hati ini.”

Rinda menjawab, “Dengan penuh percaya diri, kelinci ini bersedia menemani Sang Elang yang sendiri.”

Alangkah indahnya hidup ini. Sekarang ku tak merasa sendiri. Kini, kelinci pun bersedia menemani Elang yang malang. Hujan tak lagi memenuhi bumi. Ku ajak kelinci ini terbang ke pelosok bumi. Terbang mengelilingi isi hati.

Tak terasa, sesosok laki-laki perkasa menemui diriku yang didampingi dua anggota polisi. Dialah Papi. Dengan langkah kaki yang berayun, Papi menemui ku. Sebelum Papi angkat bicara, ku kenalkan Rinda kepada Papi dengan menyembunyikan statusku dengan Rinda, “Pi, perkenalkan. Ini Rinda, teman SMA Saqr.”

Setelah itu, Papi menarikku dan memelukku. Papi hanya berkata singkat dan menyodorkan sebuah surat sebelum kedua polisi itu mendekat, “Saqr, anakku. Papi hanya bisa memberikan ini. Papi tak bisa berbicara lebih dari ini. Baca surat ini! Papi yakin, engkau adalah anak jujur dan pembela kebenaran. Maka, beranilah untuk kebenaran. Papi menunggu engkau di meja hijau seminggu mendatang. Papi tak mau melibatkan pengacara dalam masalah ini. Papi tak bisa lama di sini. Papi harus kembali. Jaga dirimu baik-baik! Do’akanlah Ummumu! Dan tetaplah tabah! Papi tunggu di meja hijau.”

Seketika itu, aku hanya melihat punggung Papi yang dikawal dua orang polisi. Aku pasti mengerti dengan isi surat ini. Ku buka perlahan. Aku yakin ini adalah suatu kebenaran. Ini adalah kebenaran. Papi adalah orang yang jujur. Aku tahu itu.

Seminggu telah berlalu, teman-teman dan guru-guru di sekolahku telah mengetahui semua kebenaran ini. Mereka mempercayai diriku bahwa aku pasti bisa. Aku semakin percaya diri. Teman-teman sekelas dan beberapa guru terutama Pak Darwis, Wali Kelasku, dan Kepala Sekolah ikut mengantarku ke meja hijau. Rinda selalu mengisi hidupku. Dia meyakinkanku bahwa aku pasti bisa.

Kami pun tiba di meja hijau. Ku melihat wajah Papi yang pasi. Namun, ketika Papi menatapku, wajah Papi serasa bercahaya. Papi percaya bahwa aku pasti bisa. Persidangan dimulai dan dibuka oleh Hakim Agung.

Papi diantar ke kursi terdakwa. Ku melihat salah seorang pengurus partai Papi berdiri di mimbar dan berkata, “Bapak Hakim yang saya hormati. Partai kami tidaklah mengajarkan anggota kami untuk menyisihkan uang rakyat. Kebiasaan seperti itu bukanlah kebiasaan partai kami. Kami tidak mendidik anggota partai kami bertindak hal keji semacam itu. Sebelum pemilihan legislatif, kami sudah memilih siapa saja yang berhak menjadi anggota legislatif dan kami mengadakan suatu seleksi. Mereka yang lolos seleksi adalah mereka yang hidupnya pasti dengan kejujuran. Jadi, kami mohon Bapak Hakim memutuskan dengan bijaksana. Jika dia tak bersalah, maka tolong kembalikan nama baik partai kami dan terdakwa. Dan jika dia bersalah, hukumlah dengan hukuman yang setimpal.”

Aku percaya bahwa kebenaran pasti menang. Kejujuran pasti tak terkalahkan. Aku yakin itu.

Kemudian, para saksi mulai mengutarakan kesaksian mereka. Ada sembilan saksi yang mengutarakannya. Dan salah seorang dari mereka adalah Om Doni, rekan terdekat Papi sendiri. Dia berkata, “Bapak Hakim yang saya hormati. Bapak Susilo adalah orang terdekat saya. Beliau sangat dekat dengan saya. Saya tahu, beliau memang selalu jujur. Namun, tidak untuk ini. Dia rela memakai uang rakyat untuk mencukupi keluarganya. Lihat saja! Istrinya yang seminggu lalu meninggal dunia hanya ibu rumah tangga. Anaknya, Saqr, masih sekolah. Jadi, dialah tulang punggung keluarga. Dan keluarganya memiliki harta yang melimpah. Darimana lagi kalau bukan dari uang rakyat. Kemudian, saya pernah diajak olehnya untuk menyisihkan uang rakyat, tapi saya tolak mentah-mentah. Saya mengatakan bahwa saya anti dengan hal semacam itu. Maaf, Pak Susilo. Dulu saya merahasiakan ini, tapi untuk saat ini, saya harus jujur.”

Papi berteriak, “BOHONG! DUSTA!”

Hakim Agung mengetuk meja dengan palu besarnya. Kemudian Hakim Agung menenangkan persidangan dan berkata, “Kepada penggugat, kami persilakan untuk mengajukan gugatannya.”

Aku berdiri dan berjalan ke mimbar. Aku menata posisiku agar lebih nyaman. Aku mulai angkat lidah yang sejam silet bahkan setajam perisai ini.

“Assalaamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh. Bapak Hakim yang saya hormati. Di sini saya sebagai penggugat. Pertama, saya akan menjelaskan siapa Ir. Susilo Prasetyo ini. Saya adalah anak tunggal beliau. Saya tahu persis siapa beliau. Selama tujuh belas tahun saya hidup bersamanya, saya tidak pernah melihatnya curang kepada siapapun. Semenjak kecil, saya dilatih kejujuran olehnya dan dalam keadaan apapun saya harus jujur. Saya tahu bahwa beliau adalah orang yang tidak memakan lidahnya sendiri. Dia mendidik saya tentang kejujuran, maka tidaklah mungkin dia memakan lidahnya sendiri. Kedua, ayah saya, Ir. Susilo Prasetyo, tidaklah mengenal orang-orang atau saksi-saksi ini kecuali Bapak Doni, teman terdekat ayah saya. Ayah saya selalu menyimpan foto dan data orang yang beliau kenal. Dan saya belum pernah melihat delapan orang yang lain selain Bapak Doni. Seharusnya, jika ayah saya mengenal delapan orang yang lain ini, data mereka ada di urutan terbawah. Ketiga, ini adalah data yang lebih real. Ini adalah cek yang ditandatangani bukan dengan tangan ayah saya. Saya tahu persis bagaimana tanda tangan ayah. Ini bukan tanda tangan tinta pena. Ini adalah tanda tangan hasil scanner dan saya bisa mempertanggung-jawabkannya. Ini hanya tipuan belaka. Saya yakin pelakunya ada di sini. Karena yang mempunyai tanda tangan asli ayah saya dalam kertas kosong hanya beberapa orang saja. Saya yakin para saksi ini adalah saksi bayaran. Terima kasih. Assalaamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh.”

Kemudian salah satu dari saksi itu segera ke mimbar dan berkata,”Bapak Hakim yang saya hormati. Benar apa kata anak ini. Kami hanya saksi bayaran. Kami dibayar oleh koruptor sebenarnya. Kami para saksi bayaran rela masuk jeruji besi karena kami telah mengerti betapa kuatnya kebenaran. Dan kami akui, koruptor sebenarnya adalah Bapak Doni, teman Bapak Susilo sendiri. Dia mengorbankan Bapak Susilo agar statusnya tertutup. Terima kasih.”

Beberapa polisi segera menangkap Om Doni. Aku pun tak menyangka, Om Doni rela membohongi kami. Om Doni yang baik rela mengkhianati kami. Mengapa Om Doni bisa berbuat sekeji itu? Apa ada sesuatu di balik ini? Apakah ada hubungannya dengan Papi? Atau ada hubungannya dengan Ummiy?

Papi diantar salah seorang anggota polisi menemuiku yang berdiri di samping Rinda. Papi memelukku. Aku sadar. Aku melihat Om Doni membawa senjata api dari kejauhan. Dia mencoba menembak Papi. Aku segera merampas senjata api polisi di samping Papi. Terlambat. Peluru dari senjata api Om Doni sudah terlepas. Aku tak kuasa melepaskan peluru dari senjata yang ku pegang. Peluru dari Om Doni semakin mendekat. Ku tutup tubuh Papi. Jep. Peluru itu menggores bilik kanan jantungku dan tertanam di dalamnya. Aku terjatuh dan ku katakan kepada Papi dan Rinda, “Pi, maafkan Saqr, ya. Saqr sudah membentak Papi. Sudah tak percaya Papi. Terima kasih, Papi sudah mendidik Saqr tentang artinya kehidupan. Rin, terima kasih, ya, kau telah mengisi hati Elang yang sepi. Pi, Rin, mungkin hidup ini tak kan lama. Janganlah kalian panggil ambulance ke sini, karena itu sia-sia. Aku tak mau melihat air mata kalian menetes dari mata kalian. Aku hanya ingin senyuman dan ajari aku untuk mengucapkan dua kalimat syahadat.” “Asyhadu alla ilaha illallah. Wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah.” Aku menutupkan kedua mataku. Aku terasa tersenyum dan sakit seperti di tusuk ribuan pedang di seluruh tubuhku. Dan aku tak tahu dimana aku saat ini.

Hadiah Terbaik di Bulan Suci







Malam adalah waktu yang sangatlah panjang. Tak ada cahaya yang menjadi raja. Hanya kemilau berlian di hamparan langit hitam. Dan bulan sabit yang memberikan senyum di bulan ini, karena bulan sabit adalah penentuan awal bulan ini. Bulan yang penuh pembakaran. Bulan yang penuh kecerian ketika berbuka. Bulan yang penuh berkah. Marhaban Ya Ramadhan. Senyumku kan ada dalam hari-harimu. Ku kan selalu sebut nama-Nya setiap hari. Kau lah bulan yang mengajarkan diriku untuk senantiasa menuju jalan yang lurus dan penuh dengan anugerah-Nya. Ku tak kan mengeluh ketika dahagaku melanda tenggorokanku dan keronconganku bergema dalam perutku yang buncit. Ya Allah, kuatkan diriku dan keluargaku dalam hadapi bulan yang penuh dengan cobaan dan pengampunan-Mu ini.

Ummiy adalah sebutanku oleh kedua anakku yang berarti “ibuku”. Namaku sebenarnya adalah Aulia Hamida. Suamiku sering memanggilku dengan sebutan “Lia”. Suamiku adalah suami yang bertanggung jawab dan mengerti kahidupan keluarga. Namanya Muhammad Ibrahim Hasan, atau biasa ku panggil “Mas Ahim”. Sementara anakku adalah Muhammad Ilham Ridho Hasan dan Nurul Yasmin Asy-Syiffa’.

Ilham, anak pertamaku, masih menggeliat di kamarnya. Sudah ku panggil beberapa kali untuk ikut sahur bersama aku dan suamiku. Ku tinggalkan dia dan ku lanjutkan ke ruang makan. Yasmin, anak keduaku ternyata sudah bangun. Sepertinya anak perempuanku ini ingin sekali mengikuti puasa di hari pertama bulan Ramadhan. Anak perempuan ini masih duduk di bangku kelas satu Sekolah Dasar. Aku tersenyum sambil mengambilkan makan sahur untuk suamiku dan Yasmin. Setelah itu, baru ku ambil makan sahurku. Ketika sendokku mau masuk ke dalam mulutku, tiba-tiba Ilham datang dan langsung mengambil jatahnya. Muka Ilham seperti sedikit marah. Mungkin karena aku yang panggil-panggil dia terus. Sudahlah. Hampir Imsya’. Ku cukupkan makanku dan ku bereskan meja makan rumahku ini. Dan kini kami sekeluarga shalat Subuh berjamaah di masjid yang jaraknya dekat dengan rumah. Setelah shalat, ku segera mempersiapkan diri untuk bekerja. Pasar. Lebih tepatnya, toko. Ya, di sanalah aku bekerja dengan dibantu oleh dua orang perempuan yang menjadi pembantuku. Tokoku tak jauh dari rumahku. Hanya cukup dengan berjalan kaki. Jaraknya sekitar 50 kilometer dari rumahku. Tokoku sangat strategis karena berada di depan pasar. Suamiku atau biasa dipanggil Abiy oleh kedua anakku, menyempatkan untuk membantuku sebelum bekerja di kantor perpajakan di Kota. Sementara Ilham, ku suruh dia menjaga adiknya di rumah hingga pembantu rumah tanggaku datang, kemudian ku minta Ilham membantuku di toko dan menggantikan Abiy-nya, karena pada hari pertama Ramadhan semua sekolah termasuk SMA libur terkecuali sekolah Kristen atau Katholik.

Pasar hari pertama bulan Suci ini sangat ramai. Harga-harga sudah mulai naik, namun belum terlalu melonjak dan masih dalam kategori “wajar”. Pelanggan-pelangganku sudah banyak yang antre. Mulai dari yang ingin membeli beras, minyak goreng, gula pasir, gandum, pati kanji, rokok, obat maag, obat-obatan yang lain, snack 100-an, mie instan, teh, roti, kacang hijau, sagu, krupuk rambak, krupuk udang, mie jagung, sabun cuci, sabun mandi, dan masih banyak lagi yang lain. Bagiku, sudah biasa. Menghadapi situasi pelanggan-pelangganku yang ramai hingga berdesak-desakan. Sudah pukul 07.00, Ilham belum juga datang. Suamiku pun segera pulang untuk berangkat bekerja. Alhamdulillah, kedua pembantuku di toko sudah datang sejak pukul 06.00 tadi. Tak lama kemudian, sekitar pukul 07.15, Ilham datang membawa mie kriting di kedua tangannya yang di tiap tangannya terdapat empat plastik mie kriting. Pasti Abiy-nya yang suruh dia ke mari.

Hari sudah siang, pelanggan-pelangganku terus saja memadati tokoku. Ilham. Ya, Ilham. Wajahnya mungkin sudah tak bisa membuat pelanggan tertarik. Ku panggil dia. Ku suruh dia membawa tahu ke rumah untuk dibuat sayur buka nanti Maghrib. Huft... napasku terhembus. Rasa lega dari hatiku. Semoga Ilham mendapatkan pencerahan. Aku pun meneruskan pekerjaanku.

Ku tahu, kini hariku telah luluh. Sudah seharusnya ku segera memberesi tokoku bersama kedua pembantuku. Alhamdulillah setiap hari ku tak tertinggal lima waktu yang mulia walaupun dalam sibuknya personil dalam tokoku ketika melayani para pelangganku yang terus saja meminta ini dan itu. Pukul lima ini adalah tanda ketiga pembantuku harus pulang untuk mempersiapkan buka puasa keluarga mereka. Kami segera memberesi sebelum petang menjelang. Pembantu rumah tanggaku datang ke toko bersama Yasmin. Dia segera menemuiku.

“Bu, Mbak Yasmin dari tadi saya suruh buka puasanya waktu siang tidak mau. Saya kasian melihat wajahnya sudah pucat. Mas ilham suruh biarkan saja bagaimana kehendak Mbak Yasmin karena dia sungguh-sungguh mengikuti puasa hingga buka puasa tiba ketika adzan Maghrib,” kata orang yang merawat Yasmin setengah tahun ini dengan logatnya yang super cerewet.

“Mbak, sudahlah. Nanti aku yang atur. Kamu pulang saja dulu, biar Yasmin bersamaku karena sepertinya Yasmin kangen pada Ummiy-nya. Untuk buka puasa rumah sudah?” tanyaku.

“Oh, ada Mas Ilham, Bu. Tadi sudah beeeeeeeres semua. Sayur tahu ada. Kolak pisang tersedia. Teh manis siap minum. Krupuk kesukaan Bapak ada. Sambal trasi sudah saya siapkan.”

“Buah-buahan?”

“Oh, tadi Bapak beli kurma dan semangka.”

“Suamiku sudah pulang?”

“Sudah, Bu. Kalau begitu saya permisi dulu. Saya persiapkan buat buka puasa keluarga saya. O, ya satu lagi, Bu. Besok itu ada pengumuman lomba yang Mbak Yasmin ikuti yang diumumkan di sekolahnya. Sebenarnya aneh juga, besok itu hari Minggu. Sekolah Mbak Yasmin kok buka ya? Ya, seperti itu saja, Bu. Saya pulang dulu. Assalaamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam wa rahmatullah.”

Kini adzan Maghrib berkumandang. Tanda untuk membatalkan puasa keluargaku tiba. Dua pembantu di tokoku telah pulang. Sebenarnya kami harus berbahagia mendengarnya. Namun, tidak untuk Yasmin. Dia terlihat lemas tak berdaya. Wajahnya pucat tak ceria. Matanya tertimbun panas kepala. Ku iba melihatnya. Ku coba meminumkan kolak pisang ke mulutnya. Namun, muntahan yang keluar dari mulutnya setelah ku minumkan. Aku cemas. Ku segera shalat Maghrib sendiri dan tak bisa khusyu’. Ku titipkan Yasmin sebentar ke Abiy-nya. Ku berdoa untuk Yasmin telah usai shalatku. Ku segera berdiri dan menggendong Yasmin. Ku ambil uang hijau bergambar pemanen teh dan bertuliskan 20.000 dari tas tempat penghasilanku terkumpul. Ku pamit kepada suamiku. Ku segera naik ke mobilku. Ku dudukkan Yasmin di jok sebelah jok ku. Ku segera menuju ke rumah dokter Susilo. Rasa was-was terus menghantui hidupku dalam waktuku.

Aku pun tiba di rumah dokter Susilo. Ku bel rumahnya tiga kali. “Kreeeeeeee...kk.” Pintu pun terbuka. Ku dipersilakan masuk bersama Yasmin ke ruang periksa oleh dokter Susilo. Ku ceritakan keadaan Yasmin. Dokter pun memeriksa anak yang sangat aku cintai ini. Dokter menyatakan ada kemungkinan Yasmin sakit dikarenakan dia kaget ketika puasa pertamanya. Aku pun diberikan beberapa obat. Dengan uang yang cukup, aku bayarkan demi kesehatan Yasmin.

Shalat Tarawih kedua di masjid tak bisa ku ikuti. Ku masih mencemaskan keadaan Yasmin. Walaupun dia telah terlelap di atas ranjang yang merah jambu, namun hatiku terus berdesir. Aku pun shalat Isya’ dan shalat Tarawih di kamar Yasmin. Tetesan air mata tak dapat ku tahan. Ku takut akan keadaan Yasmin. Pucat. Pasi. Tak berwarna cerah. Lantunan syair doa ku ucapkan dalam shalatku. Ku hanya bisa meminta kepada-Nya untuk putri tercinta. Shalat yang usai tak menghalangiku untuk memanjatkan pinta kepada yang Maha Memberi. Anakku, jadikanlah ini cobaanmu yang menjadikan kemuliaan untukmu. Diriku yakin Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, pasti kan menyayangimu sepertiku menyayangimu. Ku hanya bersandar kepada-Nya, putriku. Keceriaanmu adalah bagian dari kesempurnaan hidupku. Ku memelukmu untuk kehangatan malammu. Gelap. Sunyi. Sepi. Dan ku terlelap dalam kehangatan kasih sayang.

Ternyata Allah telah memberi kesempatan bagi Yasmin untuk kembali ceria. Mentari yang cerah menari atas kesembuhan putriku. Namun, Ilham berwajah lain. Muram. Tak ada keceriaan. Dia mendekatiku dengan penuh tanda tanya dalam pikirku. Dia bercerita.

Ummiy, semalam ku memimpikan Yasmin meninggal dunia. Tak ada ceria lagi,” kata Ilham.

“Ah, Ummiy tak mengerti tentang arti mimpi. Tapi menurut orang Jawa, kalau mimpi yang seperti itu mungkin pertanda akan mendapat rizki. Nah, hari ini kan pengumuman lomba. Mungkin saja adikmu memenangkannya.”

Wajah Ilham pun mulai cerah. Entah apa yang dipikirkannya. Padahal dia sering bertengakar dengan adik perempuannya itu hanya karena masalah sepele. Ilham seperti ketakutan kehilangan putri kecil yang menggemaskanku. Ku sering berpesan padanya agar bersyukur karena sudah memilki saudara. Andai saudara telah pergi, hidup pun tak selamanya berarti. Ketika sakit, ketika sedih, ketika duka, ketika susah, hanya saudara yang mengerti dan memahami. Hanya saudara yang mampu menghibur segenap hati. Keikhlasan saudara adalah keikhlasan yang tinggi. Ilham mungkin belum mengerti. Namun, kelak dia kan mengerti. Walau deretan kataku itu hanya menggores kecil di hati Ilham, namun itu lebih baik dari pada tak ada sedikit goresan penyucian. Ilham. Mengertilah kau, Nak.

Aku segera ke toko. Hari ini pembantu rumah tanggaku tidak bisa masuk. Oleh karena itu, suamiku menjaga di rumah dengan kebiasaannya, mengurusi burung-burung merpatinya. Sehingga aku tak khawatir jika Yasmin tetap di rumah walaupun habis bangkit dari penyakitnya. Hari ini tak ku lihat wajah keterpaksaan Ilham untuk membantuku di toko. Aku dan Ilham pun segera membereskan perlengkapan ke toko. Aku membawa tas, buku-buku, dan nota-nota. Sementara Ilham membawa dua kardus mie instan. Kami berdua berjalan kaki menuju toko. Pelanggan-pelangganku sudah menungguku sekitar beberapa saat tadi. Ilham membukakan pintu dan menata dagangan. Dua pembantu tokoku pun juga mulai datang. Kami pun melayani pelanggan dengan senyum dan ceria.

Panas. Lemas. Kering. Itulah yang kami rasakan di toko. Melayani pelanggan yang tak pernah ada putus dalam antrean. Melayani pelanggan yang heterogen. Sabar. Sabar. Sabar. Insya Allah rizki-Nya kan turun dari langit, tumbuh dari bumi, datang dari jauh, dan keluar dari yang tersembunyi. Ilham pun tak mengenal lelah. Padahal pukul 12.33 sudah di depan mata. Aku pun sudah shalat di mushola dekat tokoku. Tiba-tiba, ku dengar suara orang sebaya Ilham memanggil-manggil Ilham.

“HAM, HAM...!!! Adikmu, Ham! Kamu harus tahu ini, Ham! Ini sangat mengejutkan,” katanya sambil berteriak mendekati tokoku.

Mengejutkan? Apa maksudnya? Para pelangganku tak menghiraukannya. Ilham pun segera menemuinya. Tak lama kemudian, Ilham mendekatiku. Dag dig dug. Jantungku berdetup kencang. Apa yang sebenarnya yang terjadi dengan Yasmin?

“Ada apa dengan adikmu, Ilham?” tanyaku sambil melayani pelangganku.

“Entahlah, Ummiy. Mungkin dia dapat rizki dari Allah. Aku ke Yasmin dulu untuk memastikan.”

“Baiklah. Ummiy akan siapkan hadiah buat putri Ummiy yang tercinta.”

Ilham segera pergi ke tempat Yasmin berada. Ku berharap rizki itu nyata. Aku segera mempersiapkan hadiah untuknya yang ku simpan dalam almari toko bagian dalam agar tak ada yang tahu. Biarkan dua pembantuku yang melayani para pelanggan.

Tak lama kemudian, Ilham datang dengan wajah cerah. Aku harap kabar baik darinya. Ku bertanya padanya, “Ilham, bagaimana adikmu, Yasmin?”

“Nggak ada apa-apa. Keadaannya baik, Ummiy. Nggak usah khawatir. Abiy suruh kita tutup toko. Lagi pula sudah siang kan nggak terlalu ramai,” jawabnya dengan nada pelan.

“Ah, Abiy-mu itu mungkin sangat bahagia. Ummiy sudah siapkan sureprice buat Yasmin, tapi diam saja. Lebih baik sekarang kita tutup.”

Aku, Ilham, dan kedua pembantuku segera menutup toko. Ku coba memahamkan para pelangganku. Dan kami pun segera ke rumah. Hatiku lega. Aku bangga memiliki putri yang pandai. Ku tak sabar untuk melihat putriku yang cantik. Tetanggaku menebarkan senyum pada kami. Kami segera ke halaman rumah. Tenda terpasang di halaman rumah. Banyak tamu berdatangan. Ah, suamiku terlalu berlebihan. Untuk selamatan saja sampai memasang tenda dan mengundang tetangga. Wajah tetangga seperti mengerti diriku. Ku tebarkan senyum ke arah mereka. Ilham dan kedua pembantuku tertunduk dan berjalan di belakangku. Kami pun masuk ke dalam rumah. Tetangga juga banyak dalam rumah. Aku tersenyum bangga. Ketika ku lihat suamiku yang arahnya berlawanan denganku, aku semakin bersyukur.

Ku sentuh pundak suamiku. Dia berbalik arah dan menatapku. Ku tersenyum lebar. Suamiku pucat. Pucat?

“Apa maksud senyumanmu? Apa kamu tak malu dengan tetangga?” tanya suamiku.

“Aku bangga dan bersyukur karena anak kita...” jawabku terpotong.

“Bangga?”

“Iya. Lagi pula kamu juga berlebihan mengadakan syukuran siang-siang seperti ini mengundang tetangga dan juga memakai tenda. Yasmin mana? Aku ingin melihat wajahnya yang ceria.”

“Yasmin. Sadar, Lia. Yasmin tak kan menampakkan keceriaannya. Senyumannya tak lagi hiasi hidup kita. Yasmin. Yasmin sudah diambil jiwanya oleh Sang Pemilik. Kini hanya raga yang akan kita antarkan hingga ke tempat persinggahan terakhir,” kata suamiku dengan tetesan air mata yang tak terbendung dari matanya yang memerah.

“Yasmin sudah tiada? Apa maksud semua ini, Mas Ahim? Ini permainan apa, Mas? Ini tak lucu. Ilham bilang dia baik-baik saja. Aku nggak perlu khawatir katanya. Aku sudah siapkan hadiah ini, namun hadiah yang sebenarnya adalah untuk keluarga kita bukan untuknya. Aku sangat kecewa pada Ilham. Sungguh tega kau Ilham mendustai Ummiy. Ummiy kecewa.” Ku tolehkan mataku ke arah Ilham. Ilham menunduk dan menangis dan bersuara. Dia lari dan segera memeluk tubuhku yang luluh atas fatamorgana ini. Aku tak mengerti maksud Ilham mendustai ibunya sendiri yang menyangkut dengan kehidupan keluarga kami. Ilham tak kunjung melepaskan pelukannya.

Ummiy, maafkan aku. Aku terpaksa dustai Ummiy. Aku tak kuasa. Aku tak kuat. Aku sangat berat untuk mengatakan jujur. Aku sangat sulit untuk mengatakan yang sebenarnya. Aku tak tega melihat Ummiy yang harus ditinggal oleh putri kesayangan dan kebanggaan Ummiy. Maafkan aku, Ummiy,” katanya sambil menangis dan membasahi pakaianku dalam pelukannya.

Aku mengerti mengapa Ilham harus mendustai aku. Ternyata dia tak tega melihatku yang telah runtuh di atas hati yang rapuh. Tak kuat melihatku yang kehilangan buah hati yang selalu mengobati lukaku ketika ku sedih dan pedih. Suamiku pun mengerti sikap Ilham. Aku segera melihat buah hatiku yang diambil nyawanya ketika bermain sepeda. Dia pergi tak diketahui suamiku. Dia jatuh dari sepeda dan tertusuk pisau yang berada di tanah hingga menembus jantungnya. Malaikat Izrail segera mengembalikan jiwa itu kepada Sang Khaliq.

Ku cium jidatnya. Bagiku dia menyisakan senyuman terakhirnya dalam ketiadaannya. Walaupun dia telah tiada di dunia, bagiku dia tetap ada dalam hatiku. Dia adalah bagian dari hidupku. Ku meminta keluarga dari suamiku dan dariku yang hadir khususnya yang perempuan untuk segera memandikan Yasmin. Kemudian dishalatkan. Dan akhir dari kewajiban kami adalah mengantarkan dan menguburkan jenazah Yasmin, buah hati yang harus rela meninggalkanku.

Ketika kami kembali ke rumah dan para petakziah datang, aku berpikir harus merelakannya dan ikhlas untuk kepergiannya. Tiba-tiba terdapat rombongan dari sekolah Yasmin. Wali kelas dan kepala sekolah segera menemuiku dan suamiku. Mereka turut berduka dan untuk terakhir kali kenangan para guru adalah Yasmin mendapatkan juara pertama yang diumumkan pada hari ini. Piagam, tropi dan uang pembinaan pun ku terima dan ini memang pantas menjadi hadiah bagi putriku yang telah pulang ke tempatnya. Aku pun tetap bangga kapadanya walau telah tiada.

Selamat jalan putriku. Terima kasih, kau telah menghiasi hidup kami. Ku doakan semoga Allah menempatkan jiwamu di tempat yang layak. Kini ku ikhlas dirimu kembali kepada pemilik dirimu. Terima kasih ya Allah. Engkau telah memberiku kesempurnaan hidup dengan titipanmu. Yasmin, kami kan selalu mengenangmu.

Tak selamanya kasih dalam hati abadi

Yang abadi hanya urusan Ilahi

Dialah pengatur

Dialah penetap takdir

Jiwa hanya pada genggaman-Nya

Titipan harus rela kembali kepada pemiliknya

Sempatkan berbagi dengan orang-orang terkasih,

sebelum mereka hilang ditelan takdir

Angin tak kan berhembus kepada jiwa yang hilang

Doa kan selalu mengiringi mereka

Doa adalah hadiah yang terbaik bagi mereka

Terima kasih atas kenangan kita

Selamat jalan

Kau kan selalu ku sebut dalam setiap doaku

Senyummu tak kan terhapus dalam hatiku

Aku bangga padamu...